ADALAH hal yang sangat naif, ketika
seorang anak menjadi bodoh, nakal, pemberang, atau bermasalah, lalu orang tua
menyalahkan guru, pergaulan di sekolah, dan lingkungan yang tidak beres. Tiga
faktor itu hanya berperan dalam proses perkembangan anak, sedangkan bakat anak
itu menjadi bodoh, nakal, atau pemberang justru terletak dari bagaimana orang
tua memberikan awal kehidupan si anak tersebut. Bukan hal aneh bahwa seorang
anak dapat dididik dan dirangsang kecerdasannya sejak masih dalam kandungan.
Malah, sejak masih janin, orang tua dapat melihat perkembangan kecerdasan
anaknya. Untuk bisa seperti itu, orang tua harus memperhatikan beberapa aspek,
antara lain terpenuhinya kebutuhan biomedis, kasih sayang, dan stimulasi.
Bicara tentang kecerdasan, tentu saja
tidak bisa lepas dari masalah kualitas otak, sedangkan kualitas otak itu
dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Secara prinsip, perkembangan positif
kecerdasan sejak dalam kandungan itu bisa terjadi dengan memperhatikan banyak
hal. Pertama, kebutuhan-kebutuhan biologis (fisik) berupa nutrisi bagi ibu
hamil harus benar-benar terpenuhi. Seorang ibu hamil, gizinya harus cukup. Artinya,
asupan protein, karbohidrat, dan mineralnya terpenuhi dengan baik. Selain itu,
seorang ibu hamil tidak menderita penyakit yang akan mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak dalam kandungannya. Kebutuhan nutrisi itu sendiri, sebenarnya
bukan hanya ketika ibu mengandung, melainkan ketika ia siap untuk mengandung
pun sudah harus memperhatikan gizi, makanan, dan komposisi nutrisinya harus
lengkap, sehingga ketika ia hamil, dari segi fisik sudah siap dan proses
kehamilan akan berlangsung optimal secara nutrisi. Tapi, memang di Indonesia
atau di negara-negara berkembang pada umumnya boleh dikatakan sangat jarang ada
keluarga yang mempersiapkan kehamilan. Malah, kerap kehamilan dianggap sebagai
suatu yang mengejutkan. Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju.
Inilah yang cenderung menjadi penyebab awal mengapa anakanak yang lahir
kemudian tidak berkualitas, karena orang tua seakan tidak siap dalam segala hal
untuk memelihara anaknya.
Faktor kedua adalah kebutuhan kasih
sayang. Seorang ibu harus menerima kehamilan itu, dalam arti kehamilan yang
benar-benar dikehendaki. Tanpa kasih sayang, tumbuh kembangnya bayi tidak akan
optimal. "Si ibu hamil harus siap dan dapat menerima risiko dari
kehamilannya," kata mantan Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Anak
Indonesia itu. "Risiko itu, misalnya, seorang wanita karier yang hamil,
merasa terbebani dan khawatir akan mengganggu pekerjaannya. Ia sebenarnya ingin
hamil, tapi juga merasa terganggu dengan kehamilannya itu. Kondisi seperti ini
tidak kondusif untuk merangsang perkembangan bayi dalam kandungannya,"
tambahnya. Selain itu, menurut Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ini, ada factor psikologis yang memengaruhi perkembangan kecerdasan bayi, yaitu
apakah si ibu hamil menikah secara resmi atau kawin lari. Pernikahannya
direstui atau tidak, dan apakah ada komitmen antara istri dan suami. Tanpa
komitmen di antara keduanya, kehamilan itu bisa dianggap mengganggu. Juga harus
ada support (dukungan). Tanpa support, walaupun ada komitmen dari suami dan
orang tua dapat mengurangi perkembangan dan rangsangan kecerdasan bayi dalam kandungan.
"Jadi, variabel kasih sayang tadi adalah komitmen dengan suami, serta
support dari orang tua dan keluarga, sehingga seorang ibu
dapat menerima kehamilannya dengan hati tenteram," Faktor ketiga adalah
adanya perhatian penuh dari si ibu hamil terhadap kandungannya. Ia dapat
memberikan rangsangan dan sentuhan secara sengaja kepada bayi dalam kandungannya.
Karena secara emosional akan terjadi kontak. Jika ibunya gembira dan senang,
dalam darahnya akan melepaskan neo transmitter zat-zat rasa senang, sehingga
bayi dalam kandungannya juga akan merasa senang. Sebaliknya, bila si ibu selalu
merasa tertekan, terbebani, gelisah, dan stres, ia akan melepaskan zat-zat
dalam darahnya yang mengandung rasa tidak nyaman tersebut, sehingga secara
tidak sadar bayi akan terstimuli juga ikut gelisah. "Yang paling baik adalah
stimuli berupa suara-suara, elusan, dan nyanyian yang disukai si ibu. Hal ini
akan merangsang bayi untuk ikut senang. Berbeda jika si ibu melakukan hal-hal
yang tidak disukainya, karena itu sama saja memberikan rangsangan negatif pada
bayi". Tapi, stimuli itu sendiri lebih efektif bila kehamilan sudah
menginjak usia di atas enam bulan. Sebab, pada usia tersebut jaringan struktur
otak pada bayi sudah mulai bias berfungsi.
Untuk mendapatkan kondisi-kondisi
itulah, seorang ibu hamil harus tetap menjaga nutrisi yang didapat dari makanan
sehari-hari. Bahkan, perlu diimunisasi, misalnya dengan suntik TT. Lakukan juga
konsultasi rutin dengan dokter secara berkala. Mulamula sekali sebulan, dan
pada bulan terakhir menjelang kelahiran (partus), diperketat menjadi tiga
minggu sekali, lalu dua minggu sekali, dan bahkan mendekati partus menjadi
setiap minggu. Juga disarankan untuk tidak meminum obat-obatan yang katanya
bisa merangsang perkembangan dan kecerdasan otak bayi. Obat-obatan semacam itu
hanya omong kosong. "Pemberian obat semacam itu percuma saja, dan tidak
berpengaruh apa-apa," katanya. "Yang penting, ciptakan saja
lingkungan mendidik, yaitu tiga faktor tadi. Sementara itu, psikolog anak
lainnya juga mengungkapkan pendapat yang sama. Stimulasi positif, menurutnya,
memang dapat meningkatkan kecerdasan anak sejak dalam kandungan. Dari stimulasi
ini, diharapkan ketika anak tumbuh, bukan hanya menjadi cerdas, melainkan dapat
bersosialisasi dengan lingkungannya. "Stimulasi menimbulkan kedekatan
antara ibu dan anak. Bahkan, lanjut Surastuti, bayi masih dalam kandungan bisa
distimuli dengan diperdengarkan musik klasik, diajak berbicara, dan diberikan
elusan penuh kasih sayang. Orang tua juga harus siap dan berusaha mengajarkan
cara anaknya bersosialisasi dengan dunia luar ketika ia masih di dalam rahim.
Tapi, mengapa musik klasik? Pendapat
semacam ini memang terus menjadi topic bahasan. Musikus hebat seperti Adhi MS,
pimpinan Twilite Orchestra, juga meyakini musik klasik dapat merangsang
kecerdasan bayi sejak dalam kandungan. Bahkan, untuk jenis musik yang
'merangsang bayi' ini sudah banyak dijual di toko-toko kaset tertentu. Tapi, untuk
lebih tuntasnya kupasan mengenai hal itu, coba kita simak penuturan Psikologi
lainnya: Musik klasik, katanya, memiliki berbagai macam harmoni yang terdiri
dari nada-nada. Nada-nada inilah yang memberikan stimulasi berupa gelombang
alfa. Gelombang ini memberikan ketenangan, kenyamanan, dan ketenteraman,
sehingga anak dapat lebih
berkonsentrasi. "Menurut beberapa penelitian, musik
klasik memang termasuk metode yang tepat. Anak menjadi siap menerima sesuatu
yang baru dari lingkungannya," ujar pengasuh rubric konsultasi di Klinik
Anakku ini. Tapi, jangan coba-coba memperdengarkan musik-musik keras kepada
bayi dalam kandungan. Konon, justru menyebabkan timbulnya kebingungan pada si
jabang bayi!
0 komentar